Kota Davao menjadi pusat perhatian kawasan Asia Tenggara dengan suksesnya penyelenggaraan 2nd Dialogue Cities Southeast Asia Conference yang berlangsung selama tiga hari, pada 12–14 September 2024. Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara KAICIID (King Abdullah bin Abdulaziz International Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue) dan Al Qalam Institute dari Ateneo de Davao University, serta didukung penuh oleh Pemerintah Kota Davao.
Konferensi ini bertujuan memperkuat peran kota sebagai ruang dialog yang inklusif, khususnya dalam menghadapi tantangan urbanisasi yang semakin kompleks di kawasan Asia Tenggara. Fokus utama konferensi adalah pemberdayaan perempuan dan pemuda sebagai agen perubahan dalam menciptakan masyarakat kota yang toleran, tangguh, dan harmonis.
Konferensi ini dihadiri oleh lebih dari 60 peserta yang berasal dari berbagai latar belakang, termasuk pejabat pemerintah kota, tokoh agama, aktivis, akademisi, dan perwakilan organisasi masyarakat sipil. Para delegasi datang dari lima kota dari lima negara Asia Tenggara, yaitu:
- Indonesia (Yogyakarta),
- Malaysia (Kuala Lumpur),
- Thailand (Bangkok),
- Singapura (Singapura), dan
- Filipina (Davao).
Beberapa peserta yang hadir antara lain Councilor Trisha Ann J. Villafuerte yang mewakili Wali Kota Davao, Dr. Gloria Jumamil-Mercado dari ASEAN Women’s Peace Registry, dan Dr. Charanjit Kaur dari University Tunku Abdul Rahman, Malaysia. Dari Indonesia, hadir pula Wiwin Siti Aminah Rohmawati, aktivis dialog lintas iman dari UNU Yogyakarta, Reverend Kristi dari Srikandi Lintas Iman (SRILI), serta Vano Aprilio Aryaprima selaku perwakilan dari Biro Bina Mental Spiritual Setda DIY dan juga Pemda DIY.
Agenda Konferensi: Dari Dialog hingga Rencana Aksi
Kegiatan konferensi mencakup sesi pleno, diskusi panel, dan lokakarya yang membahas isu-isu strategis seperti:
- Peran pemuda dalam mempromosikan toleransi di ruang kota,
- Partisipasi perempuan dalam perencanaan kota yang adil dan berkelanjutan,
- Pencegahan disinformasi dalam masyarakat multikultural, serta
- Penguatan jaringan komunitas berbasis agama dan budaya lokal.
Selain sesi diskusi, para peserta juga melakukan kunjungan lapangan ke sejumlah lokasi penting di Davao seperti Long Hua Temple, San Pedro Cathedral, Kadayawan Tribal Village, Sangguniang Panlungsod Ng Dabaw, dan pusat komunitas lintas iman milik universitas Ateneo de Davao. Tidak sampai di situ saja, perwakilan peserta dari masing-masing negara turut mempromosikan kebudayaan lokal mereka masing-masing pada sesi Cultural Night.
Konferensi ini juga menjadi ajang peluncuran inisiatif baru bertajuk Southeast Asian Youth for Humanity (SEA Y4H), yakni sebuah platform kolaboratif bagi pemuda dari berbagai kota di Asia Tenggara untuk mengembangkan program-program lintas negara yang berbasis pada nilai kemanusiaan, perdamaian, dan dialog.
Rekomendasi dan Arah Kebijakan ke Depan
Di akhir konferensi, seluruh peserta menyepakati sejumlah rekomendasi bersama, di antaranya:
- Perlunya kebijakan kota yang melibatkan kelompok rentan, termasuk perempuan, pemuda, dan komunitas minoritas agama;
- Penguatan pendidikan dialog lintas agama dan budaya di tingkat sekolah dan komunitas;
- Peningkatan kapasitas media lokal dalam mendukung narasi perdamaian dan inklusi sosial.
Lebih dari sekadar forum diskusi, konferensi ini menandai komitmen nyata dari kota-kota di Asia Tenggara untuk membangun ekosistem kota yang inklusif, toleran, dan berkelanjutan. Kota Davao, sebagai tuan rumah, berhasil menampilkan diri sebagai contoh nyata bagaimana dialog lintas budaya dapat diintegrasikan ke dalam kebijakan dan kehidupan sehari-hari warganya.
Penutupan dan Estafet Tuan Rumah
Konferensi ditutup dengan penyerahan simbolis estafet tuan rumah kepada Kuala Lumpur, Malaysia, yang akan menjadi lokasi penyelenggaraan Dialogue Cities Southeast Asia Conference ke-3 pada tahun 2026 mendatang.
Dengan berakhirnya pertemuan ini, para peserta membawa pulang bukan hanya pengetahuan dan pengalaman baru, tetapi juga semangat kolaborasi lintas negara yang kuat demi membangun kota-kota Asia Tenggara yang lebih damai, inklusif, dan saling menghargai dalam keberagaman.







